Jumat, 15 Januari 2010

Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Qur’an kepada Para Sahabat ?

Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Qur’an kepada Para Sahabat ?

Catatan Penyaji :

Tulisan dibawah ini di kutipdari buku “ Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Quran kepada Para Sahabat ? “ , ditulis oleh Dr. Abdussalam Muqbil Al Majidi. Penerjemah :
Azhar Khalid bin Seff, Lc, MA ; Muh.Hidayat Lc. Editor Bahasa : Zulfikar.
Cetakan Pertama; Sya’ban 1429 H/Agustus 2008 M. Penerbit : PT Darul Falah ,Jakarta.
Dikutip dari hal. 483 s/d hal 495.

Pengajaran Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam tentang susunan Surat Surat Al-Qur,an.

Yang benar adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang mengajarkan para shahabat Radhiayallahu Anhum susunan surat Al Qur’an, berbeda dengan anggapan sebagian ulama bahwa susunan setiap surat Al Qur’an itu merupakan hasil ijtihad, hal itu ditunjukkan oleh hal hal sebagai berikut :

1. Turunnya Al Qur’an secara Keseluruhan ke Langit Dunia Menunjukkan Surat Surat nya telah Tersusun

Abu Bakar Al Anbari emnyebutkan dalam kitabnya Ar – Radd, “ sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan Al Qur,an secara keseluruhan ke langit dunia kemudian menurunkannya secara terpisah kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam selama 20 (dua puluh ) tahun. Dan surat-surat itu diturunkan dalam suatu peristiwa ; dan ayat Al Qur’an diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh orang. Dan malaikat Jibril Alaihissalam memerintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk meletakkan surat dan ayat itu pada tempatnya.
Maka sempurnanya surat seperti sempurnanya ayat dan huruf hurufnya , semuanya dari Muhammad, penutup para nabi, untuknya salawat dan salam dari Rabb alam semesta, siapa yang mengakhirkan surat yang didepan atau memajukan surat yang di akhir, maka sama saja dia merusak susunan setiap ayat, mengubah setiap huruf , serta kalimat kalimatnya.

Al Karmani mengatakan , “ Susunan surat surat Al Qur’an adalah susunan yang sama dengan Al Qur’an di Lauh Mahfuz, dan Rasulullah Shllallahu Alaihi wa Sallam wajib membacakan Al Qur’an yang sudah terhimpun padanya di hadapan malaikat Jibril Alaihissalam setiap tahun. Dan Rasulullah Shllallahu Alaihi wa Sallam membacanya di tahun beliau wafat sebanyak dua kali. Pada masalah ini dikatakan .

Bukanlah urutan sebab turunnya ayat sebagaimana pelaksanaannya.

Dalampelaksanaan urutan itu disesuaikan dengan wahyu.

Sebagaimana telah tertulis di Lauh Mahfuz Yang paling sempurna..
Afdapun surat-surat (Al Qur’an) lebih berhak untuk diterima.

Dan yang benar dalam ayat ayat telah disepakati (urutannya).


2. Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman , “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di Dadamu) dan (Membuatmu Pandai) Membacanya (Al-Qiyamah : 17)

Ayat ini menjelaskan kepastian bahwa semua kandungan Al Qur’an yaitu susunan huruf huruf , kalimat-kalimat, serta ayat ayatnya adalah tanggungan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dia yang melaksanakan pengumpulannya. Dia yang mewahyukannya kepada nabinya Shallallahu Alaihi wa Sallam dan yang menjelaskannya kepada seluruh manusia.


3. Hadits Hadits yang Menunjukkan Susunan Al Qur’an.

Dadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiayallahu Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “ Siapa yang mempelajari tujuh surat pertama (pada sebuah riwayat : tujuh surat yang panjang ) dari Al Qur’an , maka dia adalah ulama “

Hadits ini menjelaskan bahwa susunan surat surat dalam Al Qur’an adalah murni tauqifi.

4. Kepastian keterkaitan dalam susunan .

Maka tidak akan terjadi, bahwa ijtihad para sahabat Radhiyallahu Anhum telah merusak susunan ini. Karena pada kenyataannya sebuah ijtihad tolok ukurnya adalah meletakkan surat atau ayat Madaniah (yang diturunkan pada periode Madinah ) pada kelompok Madaniah , dan kenyataannya tidak seperti itu. Atau meletakkan surat sesuai dengan urutan diturunkannya , dan kenyataannya juga tidak seperti itu. Atau meletakkanya sesuai dengan hukum-hukum fikih atau berdasarkan kisah-kisah dalam Al Qur’an, juga kenyataannya tidak seperti itu. Atau menempatkan surat sesuai dengan panjang dan pendeknya pada nomor-nomor ayat atau jumlahnya, juga tidak seperti itu. Karena itu yang mungkin terpikirkan dalam ijtihad manusia. Maka tidak tersisa kecuali munasabah yang disentuh dari pembentukan ini yang tidak jelas bagi manusia kecuali dengan penelitian yang sangat dalam. Dan sebagian ulama–ulama besar menulis beberapa kitab untuk munasabah ini dan mereka mengelompokkannya dalam kategori mukjizat Al Qur’an.

5. Tiada Hujjah pada Perbedaan Mushaf para Shahabat dalam Hal Susunan Surat-Surat Al Qur’an.

Karena – ketika adanya mushaf mushaf ini - dekat dengan perbedaan mereka tentang jumlah ayat atau dari segi perbedaan beberapa qira’at yang ada karena ketidak sempurnaan Al Qur’an kecuali setelah wafatnya nabi Shallalluhu Alaihi wa Sallam. Bahkan ketidak sempurnaan surat kecuali setelah masa yang cukup lama, sebagaimana yang telah diketahui secara pasti. Dan manusia tidak diharuskan membaca surat-surat secara teratur. Hal itu karena salah seorang dari mereka bila menghafal surat atau menulisnya kemudian keluar berijtihad bersama dalam sariyyah, lalu turun surat lainnya, maka ketika dia pulang, dia akan menghafal apa yang diturunkan setelah dia kembali, dan dia mengikuti apa yang terlewati yang mudah baginya, baik banyak atau sedikit. Dari sinilah, terjadi pengakhiran yang seharusnya berada pada bagian awal dan penulisan di awal yang seharusnya berada pada bagian akhir. Kamudian terjadilah suatu keraguan susunan mushafnya.

Dan setelah membeberkan dalil dalil yang jelas ini, dan mengetahui petunjuk petunjuknya, maka seseorang masih tetap bingung tentang bagaimana menerima pendapat seseorang yang mengatakan ; “ Sesungguhnya penulisan surat-surat dalam Al Qur’an adalah hasil suatu ijtihad”. Karena bagaimana hal itu masuk akal, bahwasanya Nabi Shallalluhu Alaihi wa Sallam membagi setiap mushaf menjadi tujuh bagian yang kurang lebih sama, yang setiap bagiannya meliputi surat-surat tertentu kemudian dikatakan bahwa susunan ini terjadi setelah Nabi Shallalluhu Alaihi wa Sallam wafat.

Dari Aus bin Hudzaifah Radhiyallahu Anhu, dia berkata , “ Kami mengunjungi Rasulullah Shallalluhu Alaihi wa Sallam sebagai utusan dari Tsaqif, lalu kami singgah pada qubbah miliknya, dan beberapa saudara kami yang menyususl singgah pada Mughrirah bin Syu’bah.”
Aus bin Hudzaifah mengatakan, “Dan Rasulullah Shallalluhu Alaihi wa Sallam menemui kami setelah isya’, lalu menyampaikan hadits kepada kami dan memperbanyak haditsnya mengadukan perlakuan orang-orang Quraish. Dan beliau bersabda,” Dan tidak sama, ketika kami di Makkah, kecuali kami lemah dan hina. Ketika kami datang (hijrah) ke Madinah, kadang dalam peperangan kami mengalami kekalahan dan kadang kami mengalami kemenagan . Pada suatu malam Rasulullah Shallalluhu Alaihi wa Sallam lebih cepat berada bersama kami ,sementara-dimalam lainnya-beliau lebih lama berada bersama kami, kami bertanya , “Wahai Rasullullah , engkau lebih cepat berada bersama kami . Beliau menjawab, “ Sesungguhnya ada hizb – ku dari Al Qur’an yang belum kubaca-, maka aku tidak ingin keluar sebelum aku menyempurnakannya”. Maka kami bertanya kepada para shahabat Rasullullah, “Bagaimana beliau meng-hibz Al Qur’an?.Mereka menjawab , “ Beliau meng hibz (mengelompokkkan ) AL Qur’an tiga, lima , tujuh , sembilan, sebelas, dan tiga belas . Beliau mengelompokkkan al mufashhal”.

Hal itu tidak mungkin membaginya secara sama, kecuali yang sesuai dengan susunan mushaf seperti yang ada sekarang. Maka dari sini dapat diketahui, bahwa susunan Al Qur’an pada masa shahabat Radhiyallahu Anhum sangat mashyur seperti susunan yang ada pada masa Nabi Shallalluhu Alaihi wa Sallam.

Rabi’ah pernah ditanya, “Mengapa surat Al Baqarah dan Ali Imran lebih didahulukan, padahal ada 82 surat lebih yang diturunkan sebelum keduanya dan keduanya diturunkan di Madinah ?”. Rabiah menjawab,” Keduanya didahulukan .Al Qur’an ditulis berdasarkan ilmu dari yang menuliskannya. Dan mereka berkumpul untuk menuliskannya dengan pengetahuan ini. Sususnan ini sudah final dan kita tidak boleh bertanya tentang hal ini.”

Iman Malik berkata, “Sesungguhnya Al Qur’an disusun berdasarkan apa yang meraka dengar dari Rasulullah Shallalluhu Alaihi wa Sallam”.

Adapun yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Radhiyallahu Anhu yang mengedepankan surat An Nissa daripada surat Ali Imran ketika shalat malam, tidak ada hujjah didalamnya , karena susunan surat ketika tilawah itu tidak wajib , karena tidak merusak susunan Al Qur’an, sebagaimana yang telah kita bahas. Dan ada riwayat yang berbeda dengan riwayat diatas, diwayatkan oleh Abu Dawud, Hudzaifah Radhiyallahu Anhu pada shalat malamnya membaca surat Al Baqarah, Ali Imran, An Nisa, Al maidah, dan Al- An’am.

Ibnu Hasm mengatakan (dalam rangka menguatkan hal ini), “ Apa yang kami riwayatkan dengan sanad sanad yang sahih bahwa Rasulullah Shallalluhu Alaihi wa Sallam tidak mengenal pemisah surat hingga diturunkan padanya “ Bismillahir Rahmannir Rahim “. Dan diturunkan kepadanya ayat, lalu beliau meyusunnya pada tempatnya. Maka dengan ini benarlah, bahwa susunan ayat ayat dan surat surat diambil dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diturukan kepada malaikat Jibril Aslaihissalam kemudian disampaikan kepada Muhammad Rasulullah Sallalahu Alaihi wa Sallam dengan mutawatir, dan ini juga menjelaskan riwayat yang shahih, bahwa Rasulullah Sallalahu Alaihi wa Sallam membaca Al Qur’an didepan malaikat Jibril setiap malam di bulan Ramadhan, dan dengan ini benarlah bahwa Al Qur’an sudah tersusun seperti yang telah tersusun pada masa Rasulullah Sallalahu Alaihi wa Sallam. Dan sabdanya, “ Aku tinggalkan kepada kalian Ats-Tsagalain ; Kitabullah dan keluargaku”. Dan Rasulullah Sallalahu Alaihi wa Sallam memerintahkan Abdullah bin Amr untuk membaca Al Qur’an pada beberapa hari, dan jangan kurang dari tiga hari. Jika –ketika itu- belum tersusun , bagaimana dapat dibaca atau dikhatamkan dan dapat dihafal ?. Ini suatu yang mustahil dan tidak mungkin, perbedaan ini dimungkinkan karena dua hal :

1. Penggunaan manhaj hadits yang terlewatkan untuk mengupas masalah masalah yang berkaitan dengan ilmu ilmu Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi, bahwa disana terdapat beberapa persamaan antara metode hadits dan metode qira’at. Akan tetapi ada juga beberapa hal yang berbeda.

2. Bahwa susunan ayat ayat dalam suatu surat itu suatu keharusan. Sebabnya jelas, yaitu susunan surat yang terdiri dari beberapa ayat akan rusak tanpa susunan tersebut. Berbeda dengan susunan setiap surat Al Qur’an, karena keharusan susunan untuk hafalan dan bacaan tidak merupakan kewajiban secara syariat dan kenyataannya. Penyebabnya jelas, yaitu tidak merusak susunan Al Qur’an yang terdiri dari beberapa surat.

Perbedaan hanya pada kulitnya saja.

Tiada terlintas sama sekali pada penulis, terjadinya perbedaan pengajaran Nabi Sallalahu Alaihi wa Sallam kepada para shahabat tentang tema ini, dan ini adalah tauqifi. Kecuali Imam Az-Zarkasyi – Rahimahullah- menghukumkan masalah ini ketika beliau mengatakan, “Perbedaan dua kelompok ini adalah perbedaan kulitnya saja, karena orang yang mengatakan dua pendapat tersebut bahwa Nabi Sallalahu Alaihi wa Sallam merumuskan demikian, agar para shahabat mengetahui asbabunnusul ayat dan posisi setiap kalimatnya. Oleh karena itu, Imam Malik mengatakan , “ Mereka menulis (menyusun) Al Qur’an berdasarkan apa yang mereka dengar dari Nabi Sallalahu Alaihi wa Sallam, bersamaan dengan mengatakan , “bahwa susunan setiap surat atas ijtihad para shahabat”. Perbedaan ini kembali kepada pertanyaan,“Apakah susunan itu tauqif qauli atau isnad fi’li ?”

Tidak ada masalah bila membalik susunan surat.

Dan yang zahir dari pengajaran Nabi Sallalahu Alaihi wa Sallam, tidak mengapa dalam membalik susunan surat. Seperti memulai membaca surat yang terakhir dalam susunan mushaf. Karena pada umumnya, seseorang menghafal Al-Mufashshal (misalnya ; Juz Amma).

Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau ditanya tentang seseorang yang membaca Al Qur’an terbalik. Beliau menjawab,” Hal itu terbalik”. Ucapan beliau ini diartikan terbaliknya ayat, bukan surat. Pandangan ini berbeda dengan Abu Ubaid.

Adapun yang diriwayatkan dari Al Hasandan Ibnu Sirin, “Apakah keduanya membaca Al Qur’an dari awal hingga akhir, dan keduanya memakruhkan setiap wirid?”.

Ibnu Sirin mengatakan, “Susunan Allah lebih baik dari susunan kalian”. Maksud wirid disini, mereka mengada-adakan Al Qur’an jadi beberapa Juz. Setiap Juz terdiri dari beberapa surat yang berbeda dan tidak sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dan menjadikan surat surat panjang disatukan dengan surat-surat yang lebih pendek, dan seterusnya hingga mereka mengkhatamkan satu Juz.

Maksud dari memakhruhkan disini sudah jelas, yaitu perbedaan dengan susunan surat surat dalam Al Qur’an Al Karim, dengan keinginan mengkhatamkannya. Dan yang asal adalah mengikuti susunan Al Qur’an ketika membacanya bila hendak mengkhatamkan, berbeda bila dalam kondisi belajar dan mengajar Al Quran.

Catatan :
1. ‘Catatan kaki’ tidak disertakan ,karena alasan teknis,.
2. Sambungan tulisan diatas dengan sub judul “ Pengajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam pembagian Hizb Al Qur’an” , Insya Allah akan di up load pada waktunya.

------- 000 -------